MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA SECARA MAKRO
1. Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity)
disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk
pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan
tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Mengenai masalah pedidikan, perhatian
pemerintah kita masih terasa sangat minim. Dampak dari pendidikan yang buruk
itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat
dari kecilnya rata - rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional,
propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka
telah memberikan hasil yang cukup mengagumkan sehingga secara umum kualitas
sumberdaya manusia Indonesia jauh lebih baik. Namun dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN, kita masih ketinggalan jauh, oleh karena itu, upaya yang
lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita tidak menjadi tamu
terasing di Negeri sendiri terutama karena terjajah oleh budaya asing dan
terpaksa menari diatas irama gendang orang lain. Upaya untuk membangun sumber
daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan
berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal ini di sebabkan
dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah internal yang cukup
mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi sejumlah masalah
yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera
diatasi karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan selanjutnya, ada beberapa
masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain seperti yang akan kita
bahas berikut yaitu Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai
banyaknya peserta didik yang putus sekolah. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana
untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan
dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara
Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah
persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih
banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung
dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang
tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita Undang-Undang No 4 tahun 1950
sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17
berbunyi:
Tiap-tiap
warga Negara republik Indonesia mempunyai hak yang sama diterima menjadi murid
suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran
pada sekolah itu dipenuhi.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI
pasal 10 ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6 tahun berhak dan yang
sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun “ ayat
2 menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Landasan yuridis
pemerataan pendidika tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan
pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai
akibat penjajahan.
Pemerataan pendidikan adalah
bagaimana system pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian,
terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin
tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan
bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan
semboyan education for all.
Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity.
Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam
memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam
masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia
sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan
telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama. Coleman dalam bukunya Equality of Educational Opportunity mengemukakan
secara konsepsional konsep pemerataan yakni : pemerataan aktif dan pemerataan
pasif. Pemerataan pasif adalah pemerataan yang lebih menekankan pada kesamaan
memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif
bermakna kesamaan dalam memberi kesempatan kepada murid-murid terdaftar agar
memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.
Pemertaan pendidikan dalam arti pemerataan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang telah lama menjadi masalah
yang mendapat perhatian, terutama di Negara-negara sedang berkembang. Hal
ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting
dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi
pendidikan agama semboyan education for all. Mentri pendidikan nasional
Muhammad Nuh menyatakan, salah satu paradigma yang harus digeser adalah wajib belajar 9
(Sembilan) tahun. “Masyarakat punya hak untuk menuntaskan Sembilan tahu
pendidikan. Kalau itu menjadi hak, maka Negara harus menyiapkan seluruh sarana
dan prasarana. Semua bisa menuntaskan pendidikan sembilan tahun”. Katanya
ketika membuka Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Pusdiklat Pegawai Ke-mcntenan
Pendidikan Naasional,Depok 3 maret 2010.
Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan
masalah yang sangat rumit. Ketidak merataan pendidikan di Indonesia ini terjadi
pada lapisan masyarakat miskin. Factor yang mempengaruhi ketidak merataan
pendidikan ini disebabkan oleh factor financial atau keuangan. Semakan
tinggi tingkat pendidikan, semakain mahal/tinggi biaya yang dikeluarkan oleh
individu. Indonesia merupakan Negara berkembang yang sebagaian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang
tidak berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada membuang-buang
uang mereka untuk bersekolah/berpendidikan. Selain itu, biaya pendidikan di
Indonesia yang relative mahal jika dibandingkan Negara lain meskipun biaya
beberapa tingkat pendidikan telah dibebaskan.
Pemerataan pendidikan merupakan amanat UU
sebagaimana disebutkan dalam UU Republik Indonesia No. 20 Thn. 2003 tentang
system Pendidikan Nasional BAB III Pasal 4 tentang prinsip penyelenggaraan
pendidikan yang berbunyi : “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai cultural dan kemajemukan bangsa”.
Hal ini juga tercantum dalam BAB IV Pasal 5
bagian kesatu tentang Hak dan kewajiban Warga Negara yang berbunyi :
1. Setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
2. Warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, inelektual, dan social
berhak memperoleh pendidikan khusus.
3. Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Masalah pemerataan memperoleh
pendidikan dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh
kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan
kemajauan melalui berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia baik
mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian
mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat pembangunan. Oleh karena itu,
dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan
tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
pembangunan. Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang
berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun
kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur
dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi
yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan
penyediaan memperoleh kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor
kuantitatif, karena kepada seluruh warga Negara perlu di berikan bekal dasar
yang sama. Pada jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang
pendidikan yang tinggi, kebijakan pemerataan didasarkan atas pertimbangan
kualitatif dan relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga
kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi.
Agar tercapai keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan
memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai
bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam
pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan
berlangsung terus menerus dari pelita ke pelita. Didalam Undang-Undang
No.2 tahun 1989 tengtang sistem pendidikan nasional III tentang hak warga
Negara untuk memperoleh pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga Negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal 7
mengenai hak telah di tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta
didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan
jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan
ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Permasalahan pemerataan dapat terjadi karena kurang
tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya
komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Selain itu masalah pemerataan
pendidikan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan untuk
melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan
yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daearh-daerah
terpencil. Banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati
bangku sekolah pula, salah satunya karena faktor biaya. Sedangkan untuk
pemerataan di daerah pedesaan/ terpencil
karena jangkauan wilayah yang kurang strategis sehingga terkadang membuat
pemerintah kurang menengok keadaan disana. Padahal seharusnya pemerintah juga
memperhatikan masyarakat yang disana. Bahkan dapat dilihat bahwa banyak juga
yang semula menempuh jenjang pendidikan namun tiba – tiba berhenti. Ini juga
kurangnya perhatian lebih pada masyarakat yang sekiranya kurang dalam
pembiayaan yang mengakibatkan putusnya peserta didik di jenjang sekolah. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk
Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan
sebagaimana yang diharapkan.
Adapun permasalahan
pemerataan pendidikan dapat ditanggulangi dengan menyediakan fasilitas
dan sarana belajar bagi setiap lapisan masyarakat yang wajib mendapatkan
pendidikan. Pemberian sarana dan prasrana pendidikan yang dilakukan pemerintah
sebaiknya dikerjakan setransparan mungkin, sehingga tidak ada oknum yang dapat
mempermainkan program yang dijalankan ini. Yang paling penting
peran pemerintah untuk lebih memperhatikan perkembangan masyarakat dalam
memandang pendidikan. Khususnya di daerah terpencil, juga wajib mendapat
perhatian dari pemerintah. Sehingga pendidikan di Indonesia dapat merata tanpa
harus membedakan ras maupun wilayah.
2.
Masalah
Efisiensi
Sistem
pendidikan dikatakan efisien bila dengan menggunakan segala sesuatu yang serba
terbatas namun dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas. Pada hakikatnya
masalah efisiensi adalah masalah pegelolaan terutama memanfaatkan sumber dana
dan sumber daya yang ada. Hal ini nampak dengan banyaknya murid yang drop out,
anak yang belum memperoleh pendidikan, anak yang tinggal kelas, terbelakang dan
penyandang cacat atau yang sangat cerdas.
Salah satu
upaya untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan peran serta perorangan,
masyarakat, dan swasta dalam menyelenggarakan pendidikan. Di samping itu
diupayakan agar peran serta masyarakat yang tergolong miskin dapat dibantu
secara subsidi silang dari masyarakat yang tergolong kaya.
3.
Masalah
Relevansi
Relevansi
adalah masalah kesesuaian antara hasil pendidikan dengan tuntutan lapangan
kerja, kesesuaian antara sistem pendidikan dan pembangunan nasional, serta
antar kepentingan perseorangan, keluarga dan masyarakat baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Melalui pendidikan hendaknya dapat dihasilkan
generasi yang terampil, cerdas, berpengetahuan luas sehingga dapat berperan
dalam menunjang pembangunan nasional di segala bidang.
Untuk memenuhi harapan tersebut
diperlukan keterpaduan, antara perencanaan, pelaksanaan dalam pembangunan
khususnya di bidang pendidikan, sebagai contoh pendidikan di sekolah harus
direncanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional serta
memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang diperlukan sesuai dengan keadaan
lingkungan di wilayah tertentu.
4.
Masalah Lemahnya
Manajemen Pendidikan
Reformasi
pemerintah yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya
penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Kejadian ini
ditandai dengan pemberian otonomi yang luas dan nyata pada daerah termasuk pada
manajemen pendidikan. Manajemen yang berpusat pada masa lalu memiliki banyak
kendala, misalnya pemberian sarana yang tidak diperlukan.
Upaya untuk
meningkatkan mutu manajemen sekolah, diterapkan manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (MPMBS). MPMBS ini merupakan alternatif sekolah dalam program
desentralisasi bidang pendidikan. Upaya ini ditandai adanya otonomi luas di
tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi, dan dalam kerangka
kebijakan nasional. Otonomi sekolah diberikan agar sekolah dapat mengelola
dengan leluasa, mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan
prioritas, dan sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhannya sendiri. Dengan
demikian kebutuhan sekolah dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi dan situasi
yang berkembang di sekolah. Sedangkan masyarakat dituntut berpartisipasi agar
mereka lebih memahami pendidikan, membantu serta mengontrol pengelolaan
pendidikan.
5.
Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu
pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran
yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang
akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah.
Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di
dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi.
Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga
pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang
ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat
hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur
oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga
dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan
kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam
pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan
yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan
pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang
hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan
bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak
perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang
diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat
disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena
terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika
kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai
atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya.
Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang
kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus
tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja
tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi
seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang
studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya
dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga
permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan
penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat
kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga
jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
PERMASALAHAN
PENDIDIKAN DI INDONESIA SECARA MIKRO
1.
Minimnya Sarana dan Prasarana Dalam Sekolah
Sekolah sebagai bentuk
organisasi diartikan sebagai wadah dari kumpulan manusia yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan tertentu yakni tujuan pendidikan. Keberhasilan program
pendidikan dalam proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, dana, prasarana dan sarana,
dan faktor lingkungan lainnya. Apabila faktor tersebut terpenuhi dengan baik
dan bermutu serta proses belajar bermutu pada gilirannya akan menghasilkan
meningkatkan mutu pendidikan di Negara kita ini.
Salah faktor yang
mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran yaitu
sarana dan prasarana. Prasarana dan sarana pendidikan adalah salah satu sumber
daya yang menjadi tolak ukur mutu sekolah dan perlu peningkatan terus menerus
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cukup canggih.
Sarana prasarana adalah salah satu bagian input, sedangkan input merupakan
salah satu subsistem. Sarana prasarana sangat perlu dilaksanakan untuk
menunjang keterampilan siswa agar siap bersaing terhadap pesatnya teknologi.
Sarana prasarana merupakan bagian penting yang perlu disiapkan secara cermat
dan berkesinambungan, sehingga dapat dijamin selalu terjadi KBM yang lancar.
Dalam penyelengaraan pendidikan, sarana prasarana sangat di butuhkan untuk
menghasilkan KBM yang efektif dan efisien.
Menurut
peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 Tanggal 28 Juni 2007
tentang standar sarana dan prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI) adalah, bangunan gedung memenuhi persyaratan kesehatan berikut :
a. Mempunyai fasilitas
secukupnya untuk ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai.
b. Memiliki sanitasi di dalam
dan di luar bangunan gedung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air
kotor dan/atau air limbah, kotoran dan tempat sampah, serta penyaluran air
hujan.
c. Bahan bangunan yang aman
bagi kesehatan pengguna bangunan gedung dan tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan.
Sedangkan
ketentuan prasarana dan sarana sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki
prasarana sebagai berikut: 1.ruang kelas, 2.ruang perpustakaan, 3.laboratorium
IPA, 4.ruang pimpinan, 5.ruang guru, 6.tempat beribadah, 7.ruang UKS, 8.jamban,
9.gudang, 10.ruang sirkulasi, 11.tempat bermain/berolahraga.
Diperjelas juga dalam
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang
menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII
Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa:
v Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot,
peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan
habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses
pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
v Setiap satuan pendidikan wajib memiliki
prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan,
ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang
bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa,
tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan
ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
Hal itu tentu relevan bagi Sekolah
yang berada di kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana tentunya
tercukupi dengan baik, namun bagi SD Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR) hal ini
menjadi kebalikan dari sekolah di kota. Bagaimana mutu pendidikan di Indonesia
ini akan meningkat sedangkan pemerintah masih kurang memperhatikan fasilitas
baik sarana maupun prasarana di sekolah-sekolah terpencil yang jauh dari kota.
Salah satu penyebab terjadinya permasalahan sarana
dan prasarana di Indonesia yaitu pemerataan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata
pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti: 1) meliputi seluruh
bagian, 2) tersebar kesegala penjuru, dan 3) sama-sama memperoleh jumlah yang
sama. Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan
pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu
proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan
pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan
pendidikan.
Sampai saat ini 88,8
persen sekolah di indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu
standar pelayanan minimal. Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan
mulai dari guru, bangunan sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium,
buku-buku pelajaran dan pengayaan, serta buku referensi masih minim. Pada
jenjang Sekolah Dasar (SD) baru 3,29% dari 146.904 yang masuk kategori sekolah
standar nasional, 51,71% katekori standar minimal dan 44,84% dibawah standar
pendidikan minimal. Pada jenjang SMP 28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar
minimal dan 26% tidak memenuhi standar pelayanan minimal. Hal tersebut
membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak terpenuhi sarana prasarananya.
Data Balitbang
Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang
menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh
ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau
34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami
kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga
terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak
sama.
Banyak sekali sekolah
dan perguruan tinggi yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Permasalahan sarana dan prasarana ini sering
dijumpai pada daerah daerah yang terpencil atau pedalaman, seperti pedalaman
kalimantan. Biasanya keterbatasan sarana dan prasarana ini mulai dari gedung
sekolah yang ruangannya tidak layak dipakai untuk mendapatkan suasana belajar
yang nyaman dan kondusif (seperti gambar di bawah) dan hanya terdapat dua atau
tiga kelas saja, tidak terdapat ruangan lain seperti perpustakaan, laboraturium
sarana-sarana olahraga, sarana sarana belajar seperti buku paket yang up date
serta fasilitas lainnya dan jumlah guru yang sangat terbatas.
Situasi seperti itu juga terdapat di daerah
perkotaan misalnya ada sekolah yang proses belajar dan pembelajarannya di
lakukan di bawah jembatan dan lain lain. Banyak lagi permasalahan sarana dan
prasarana sekolah di Indonesia seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Misalnya adanya infocus di tiap kelas, jaringan internet atau wirless di sekolah dll.
Dengan keterbatasan
sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan kurang
memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak
tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya
tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar,
kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada
dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:
a. Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana
pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di
era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang
membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing
dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya
belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar
dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah
kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan.
Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidikan
lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis teknologi ini.
Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung dibiarkan
berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan
politik disaat pemilu saja.
b. Kenakalan Remaja dan Perilaku yang
Menyimpang
Secara psikologis
pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana didalamnya
terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang sagat tinggi.
Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan
cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk
negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium,
perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana
olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera
modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya,
pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangaan kematangan emosi
misalanya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal
ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat
perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia sendiri
masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi
ini. Inilah peran pemerintah sangat penting guna menunjang sarana dan prasarana
di setiap sekolah agar dapat memperbaiki mutu pendidikan. Selain itu sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam rangka
meningkatkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga),
menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana
penunjang pendidikan.
2.
Korupsi di
tingkat sekolah
Korupsi di
tingkat sekolah bukanlah suatu masalah baru bagi kebanyakan sekolah negeri. Hal
ini turut andil dalam menyebabkab rendahnya mutu pendidikan dan menimbulkan
semakin mahalnya biaya pendidikan. Korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang
untuk kepentingan diri sendiri sekarang ini merupakan praktek yang lazim
dilakukan. Oleh sebab itu korupsi bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan.
Solusi yanng ditawarkan :
a.
Memerlukan
pembaharuan kebijakan pendidikan melalui konsensus antara birokrat dan
komunitas sekolah.
b.
Melacak isu
soal perpindahan dan mutasi dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting
dari sebuah kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan.
c.
Kelas dan
sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan, bagaimana sebenarnya
sistem pendidikan kita dijalankan.
d.
Membangun
kontrol sosial di semua level pendidikan yang memungkinkan sekolah terus
melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
e.
Dalam
pelaksanaan program belajar mengajar guru, kepala sekolah, siswa, dan
masyarakat harus tercermin dalam program penguatan kapasitas guru sekaligus
kapasitas peran serta masyarakat.
f.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan harus terus berupaya mengevaluasi seluruh tools yang
berkaitan dengan perangkat perundang-undangan yang dianggap lemah dan perlu
diubah, terus berupaya meningkatkan kapasitas manajemen sekolah secara
berkesinambungan.
g.
Membuat sebuah
program perencanaan manajemen keuangan sekolah, agar warga sekolah semakin
peduli pada setiap rencana yang akan sekolah tetapkan.
h.
Komite sekolah
harus dapat menciptakan kondisi sekolah yang transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Alasannya sederhana, yaitu komite sekolah juga memiliki fungsi sebagai pemberi
pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengontrol
(controlling agency), dan mediator. Komite sekolah merupakan kekuatan nyata
yang tak pernah diberdayakan sekaligus diikutsertakan dalam menyusun RAPBS.
3. Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb:
untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP
54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
4. Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi
fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah.
Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa
Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika
dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara
tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the
Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa
keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura),
65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999)
memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia
pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai
di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
DAFTAR PUSTAKA
Ferry T.
Indriarto. 2007. Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum
yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta:
Kompas
Maragustam,
2010, Mencetak
Pembelajar Menjadi Insan Paripurna ; Filsafat Pendidiakan.
Yogyakarta : Nuha Litera
Nuryanto
Agus. 2010. Mazhab Pendidikan Kritis.
Yogyakarta: Resist Book
Kompas,
Rabu 23 Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu
standar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar