Konsep Penyajian Tradisional dan
Kontemporer
A.
Konsep
Penyajian Tradisional
Pagelaran
tradisional adalah pagelaran yang terbentuk dari keratifitas manusia yang
didalamnya terdapat unsur – unsur atau budaya kuno (tradisional). Pagelaran ini
sangat erat kaitannya dengan nilai – nilai luhur yang ada dimasyarakat. Setiap
penyajian pagelaran mempunyai kandungan nilai atau maksud tersendiri. Di Jawa
pagelaran dengan sajian tradisioanl identik dengan gamelan, tembang – tambang
Jawa, pesinden dan kostum yang digunakannya pun khusus (beskap dan kebaya).
Berdasarkan
hasil pagelaran yang diamati pada tanggal 11 April, dalam konsep penyajian
pagelaran tradisional memuat hal – hal berikut :
a. Menggunakan
alat musik pengiring gamelan jawa yang terdiri dari slenthem, saron, bonang,
gong, kempul, kethuk,kempyang, rebab, siter, kendhang, demung, kenong,gender,
gambang, dan suling.
b. Kostum
yang digunkan adalah kostum tradisional. Wanita menggunakan kebaya dan tata
rias yang khas serta rambut disanggul sedangkan laki – laki menggunakan beskap.
c. Setiap
penyajian diiringi dengan tembang atau sekar yang dinyanyikan oleh sinden baik
laki – laki maupun perempuan.
d. Dalam
penyajian pertama, oleh Dwi Sekarwati, Bayu Triyoko, dan kawan – kawan
menyajikan sebuah pagelaran menggunakan
laras pelog. Pada pesinden , dapat dilihat bahwa semakin tinggi sebuah nada
suara yang diucapkan, musik pengiringpun semakin cepat dan keras. Sehingga alat
musik pengiring mengikuti setiap irama/ritme sebuah nada suara yang diucapkan.
Kemudian dalam akhiran pagelaran ada beberapa alat musik yang mengiringi
terlebih dahulu baru ditutup alat musik berikutnya. Dalam penyajian pertama
ini, alat musik seperti saron, rebab, suling, dan pesinden selesai terlebih
dahulu. Setelah itu diakhiri dengan
permainan alat musik bonang, gong, saron besar.
e. Dalam
penyajian kedua, oleh Danang Prabowo (rincian rebab), Ardi Satria Handoko
(sebagai rincian gender dan pendhalang), Liliawati (pesinden) menyajikan sebuah
gendhing karawitan dengan menggunakan slendro patat enem. Berbeda dengan
penyajian pertama yang hanya menyajikan tembang diiringi gamelan jawa,
penyajian kedua ini selain menyajikan tembang diiringi instrumen gamelan, masih
ditambah dengan sajian teater. Yakni dengan hadirnya 3 orang laki – laki yang
menggunakan kostum seperti tokoh yang ada dalam pewayangan dan 1 orang
perempuan yang juga menggunakan kostum pewayangan. 3 orang laki – laki tersebut
memakai topeng dan seorang wanita tersebut menari. Saat 3 orang laki – laki dan
seorang perempuan tersebut bermain peran maka suara dari pesinden dan gamelan
sedikit lebih lirih karena 3 orang laki – laki dan seorang perempuan tersebut sedang
berdialog.
f. Penyaji
ketiga adalah oleh Tribayu Santosa ( rincian gendhang), Suwuh (sebagai rincian
gender), penyaji lain ada yang sebagai rician rebab, dan yang lainnya
menyajikan gendrung klentingan dan gendrung pengasih dengan menggunakan laras
slendro patet 6, laras pelog, laras slendro patet 9, dan laras pelog patet
barang. Penyajian diawali dengan permainan rebab terlebih dahulu, ada diiringi
tepuk tangan dari penyaji 5 orang, dan ada pengiring vokal. Sajian ini tampil
kurang lebih 1 jam, dominan dengan pesinden wanita yang nembang. Pagelaran
dominan dengan tembang, instrumen gamelan dan tepuk tangan. Pemain menggunakan
kostum pakaian tradisional Jawa Tengah.
g.
Durasi penyajian pagelaran dari masing –
masing kelompok berbeda, tergantung dari pagelaran yang disajikan. Yang paling
lama adalah sajian ketiga yang disajikan oleh Tribayu dan kawan – kawan,
disajikan lebih dari 1 jam.
Dari
ketiga penyajian tersebut, ada satu penyajian yang menarik. Konsep penyajian
dua yang disajikan oleh Danang Prabowo (rincian rebab), Ardi Satria Handoko (rincian
gender dan pendhalang), Liliawati (sebagai pesinden) menyajikan sebuah gendhing
karawitan dengan menggunakan slendro patat enem ini dengan diiringi tari yang
dimainkan oleh 3 orang laki – laki dan seorang perempuan. Adanya persembahan
tari tersebut membuat sajian lebih hidup serta kandungan dalam tembang yang
dibawakan seperti dituangkan dalam tarian dengan sedikit dialog.
Dalam
sajian konsep tradisional identik dengan gamelan jawa, tembang atau sekar
macapat oleh pesinden, tata busana menggunakan pakaian tradisional (kebaya
untuk perempuan dan beskap untuk laki – laki) dan tata rias yang khas (sanggul).
B.
Konsep
Penyajian Kontemporer
Pagelaran
kontemporer yaitu pagelaran yang terbentuk dari keratifitas manusia yang
didalamnya terdapat unsur – unsur atau budaya kuno (tradisional) dan dipadukan
dengan unsur – unsur modern. Pagelaran ini menggambarkan nilai – nilai yang ada dalam masyarakat. Menggambarkan
masyarakat dalm kehidupan sehari – hari.
Berdasarkan
hasil pagelaran yang diamati pada tanggal 16 April, dalam konsep penyajian
pagelaran kontemporer memuat hal – hal berikut :
a.
Sajian pertama kontemporer adalah
“kluthekan” yang disajikan oleh Sasno.
Kluthekan menggambarkan kehidupan masyarkat sehari – hari. Kluthekan
mengangkat sebuah cerita pedagang tahu
kupat. Properti yang digunakan adalah gerobak tahu kupat, dapur, meja dan kursi
seperti diwarung. Pemain menggunkan pakaian sehari – hari seperti kemeja, celana, kaos, untuk yang berperan
menjadi pedagang memakai kebaya dengan bawahan, celana kain dan baju lengan
panjang. Instrumen yang mengiringi dengan menggunakan botol bekas, variasi suara
dari mulut, serta suara ceret yang berbunyi khas menambah apik suasana. Lagu
pengiring semacam lagu dolanan. Lagu dinyanyikan secara bersama – sama. Sajian
ditutup seorang laki – laki menggoreng telur yang menimbulkan suara khas
sebagai tanda sajian telah berakhir.
b. Sajian
kedua disajikan oleh Jasno dengan judul
“trenyuh”. Trenyuh menggambarkan kisah seorang ayah yang mencari keluarganya
tetapi justru rasa marah yang didapat ketika mencari keluarganya. Instrumen
yang digunakan adalah peraduan dari tradisional dan kontemporer yakni saron, bonang, rebab, gitar, bambu yang diisi
air dengan cara membunyikanya bambu dimiringkan ke kiri dan ke kanan sehingga
air mengalir dan menghasilkan suara seperti suara gemercik air. Busana yang
dipakai semi tradisional.
c.
Penyajian ketiga oleh Kukuh dengan judul
“randha”. Dalam penyajiannya menggunakan instrumen gamelan berupa kendhang,
suling, saron, gender, kethuk kempyang. Pemain menggunakan kaos.
d.
Sajian selanjutnya oleh Suryo Winarko
dengan judul “Ngedhablu”, mengisahkan janji-janji para pejabat yang akan menjadi wakil rakyat. Saat mereka
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat mereka mengumbar janji tetapi setelah
menjadi wakil rakyat mereka lupa pada janjinya. Sajian ini
memadukan variasi tradisional dengan kontemporer. Instrumen yang digunakan
adalah bonang, gender, saron dan kethuk. Pemain menggunakan pakaian semi
tradisional.
Dari penyajian penyajian yang telah disajikan, yang paling
menarik adalahsajian yang berjudul “Kluthekan” karena pada sajian ini benar –
benar mengangkat cerita dari kehiduapn masyarakat. Penyajiannya lebih menarik
karena mengandung humor. Properti yang dibawa nyata, sehingga maksud dari
sajian tersebut mudah dan menarik untuk dinikamati.
C. Kesimpulan dari Konsep Sajian
Tradisional dan Kontemporer
Dari
sajian yang telah diamati dapat ditarik beberapa kesimpulan perbedaan antara
kosep sajian tradisional dan kontemporer :
1.
Dari segi alat musik atau instrumen yang
dipakai. Sajian tradisional dominan menggunakan instrumen gamelan jawa sebagai
pengiringnya tanpa menambah instrumen lainnya. Sedangkan pada sajian
kontemporer menggunakan perpaduan antara instrumen tradisional dan modern
sehingga menambah variasi suara yang dihasilkan. Contoh pada pada sajian yang
berjudul Trenyuh selain menggunakan saron, bonang dan rebab juga menggunakan
bambu yang diisi dengan air.
2.
Dari segi vokal. Sajian tradisional
menggunakan sekar macapat dalam penyajiannya sedangkan pada sajian kontemporer
bisa menggunakan lagu dolanan seperti pada sajian yang berjudul Kluthekan.
3.
Dari segi tata busana. Sajian
tradisional menggunakan busana tardisional seperti kebaya dan beskap sedangkan
pada sajian kontemporer menggunakan pakaian yang digunakan sehari – hari atau
menggunakan pakain semi tradisional seperti yang ada pada sajian yang berjudul
Trenyuh.
4.
Dari segi sikap saat perfomance. Sajian tradisional lebih
halus, contoh pengrawit dan pesinden semua duduk sopan. Sedangkan pada sajian
kontemporer penyaji bergerak sesuai alur cerita, seperti jalan, berdiri, dan
duduk.
5.
Dari segi tata rias. Sajian tradisional
identik dengan sanggul untuk wanita sedangkan pada sajian kontemporer penyaji
berandan sesuai dengan sajiannya. Misal pada sajian yang berjudul
Kluthekan,penyaji yang berperan sebagai pedagang juga berias seperti pedagang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar